Kotak Kosong; Demokrasi Kopong

admin
7 Min Read

Kotak Kosong; Demokrasi Kopong

admin
7 Min Read

“Demokrasi adalah tentang pilihan. Namun, ketika pilihan itu hanya kotak kosong, pertanyaan yang lebih besar muncul: apakah ini masih demokrasi, atau sekadar formalitas?”
Pemikiran sosiolog Spanyol, Juan J. Linz, dalam buku  The Breakdown of Democratic Regimes

 

Rabu, 27 November 2024, adalah hari yang ditunggu. Di 37 di beberapa daerah di Indonesia, pemilih akan mendatangi bilik suara. Tapi, di balik bilik suara itu, tidak ada kompetisi yang sesungguhnya. Tidak ada dua gambar atau lebih yang menandakan adanya gagasan yang saling bersaing, tidak ada pilihan yang menantang. Hanya ada satu nama pasangan yang berdiri sendirian, melawan sesuatu yang namanya “kotak kosong”. Ini sebuah ironi dalam demokrasi, yang seharusnya memberi ruang untuk kontestasi, namun yang disuguhkan hanyalah piring kosong.

Kotak kosong, sebenarnya adalah simbol. Ia bukan sekadar pilihan alternatif bagi warga yang enggan memilih calon tunggal. Ia adalah cermin dari kegagalan. Kegagalan partai politik. Kegagalan demokrasi. Kegagalan kita sebagai bangsa yang pernah memperjuangkan pemilu langsung dengan harga yang mahal.

Harga yang Terlalu Mahal

Demokrasi di Indonesia tidak murah. Biaya politik melambung tinggi, dan partai-partai politik semakin terjebak dalam logika kapitalisme politik. Untuk maju dalam pilkada, seorang calon membutuhkan tidak hanya visi, tetapi juga uang—banyak uang. Ongkos untuk partai, ongkos untuk kampanye, ongkos untuk meyakinkan. Dalam sistem seperti ini, kandidat dengan kantong kosong tidak akan pernah muncul. Maka, muncullah fenomena “koalisi gemuk”.

Dari sisi penyelenggaraan pemilu, dengan mengambil contoh di KPU Kota Surabaya telah menetapkan DPT untuk Pilkada 2024 dengan jumlah sekitar 2 juta lebih pemilih. Lalu kita ingin tahu berapa anggaran yang akan digelontorkan untuk penylenggaraan pilkada? Perhitungan jumlah total TPS Surabaya sebanyak 8.167 TPS, di 31 kecamatan dan 153 kelurahan dan kita kalikan dengan jumlah anggaran minimalis Rp. 13.700.000 per TPS, untuk anggaran honor KPPS, linmas, pengawas, konsumsi, logistik pemilu dan lainnya. Maka dalam sehari, negara mengeluarkan Rp. 111.887.900.000 untuk kota Surabaya saja. Padahal ada sekitar 37 daerah yang  jumlah kontestannya melawan kotak kosong.

Di banyak daerah, partai-partai besar mendukung satu pasangan calon tunggal, mengunci peluang bagi kandidat lain untuk bertarung. Di Surabaya, misalnya, duet Eri Cahyadi dan Armuji didukung 18 partai politik. Semua partai besar—dari PDI-P hingga Nasdem—berkumpul dalam satu perahu besar. Tidak ada ruang untuk lawan. Tidak ada kompetisi. Tidak ada suara yang berbeda.

Koalisi gemuk ini, kata para pengamat seperti Ali Sahab dari Universitas Airlangga, adalah bentuk lain dari “kartel politik”. Sebuah permainan untuk mempertahankan status quo. Partai-partai tidak lagi berfungsi sebagai wadah pendidikan politik atau penyalur aspirasi rakyat. Sebaliknya, mereka menjelma menjadi mesin kekuasaan, yang hanya peduli pada kepentingan pragmatis: menang, dan menang cepat.

Kotak Kosong: Simbol Perlawanan atau Frustasi?

Kotak kosong pertama kali muncul pada Pilkada 2015, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pilkada tetap bisa dilaksanakan meski hanya ada satu pasangan calon. Dalam putusan itu, MK menambahkan kotak kosong sebagai opsi di kertas suara, memberi peluang kepada rakyat untuk menyatakan ketidaksetujuan mereka. Tapi, apakah kotak kosong benar-benar solusi?

Pada satu sisi, kotak kosong adalah perlawanan simbolik. Sebuah cara bagi warga untuk berkata “tidak” pada calon tunggal yang ditawarkan oleh partai-partai besar. Di Surabaya, seorang warga bernama Bagas menyatakan bahwa ia akan memilih kotak kosong. “Demokrasi di Surabaya sudah gagal,” katanya. “Saya ingin ada sesuatu yang baru.” Namun di sisi lain, kotak kosong juga adalah tanda keputusasaan. Ia adalah pengakuan bahwa sistem ini tidak lagi mampu menawarkan pilihan yang bermakna.

Dan inilah paradoksnya: jika kotak kosong menang, pilkada harus diulang. Tapi siapa yang akan maju dalam pilkada ulang itu? Apakah partai-partai akan tiba-tiba menemukan kandidat baru yang berkualitas? Atau, seperti kata Khoirunnisa Nur Agustyati dari Perludem, “kotak kosong hanya akan memperpanjang kekosongan itu sendiri?”

Demokrasi yang Mati Perlahan

Dalam buku How Democracies Die, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menyebutkan bahwa demokrasi tidak selalu mati dengan cara spektakuler, seperti kudeta militer. Kadang, ia mati perlahan-lahan, selangkah demi selangkah. Di Indonesia, kematian itu terlihat dalam fenomena kotak kosong. Ketika kompetisi dihilangkan, ketika partai-partai politik lebih sibuk mengamankan kekuasaan daripada menciptakan pilihan, demokrasi kehilangan maknanya.

Juan Linz, dalam The Breakdown of Democratic Regimes, menulis bahwa demokrasi bergantung pada perilaku politikus. Ketika politikus menolak aturan main demokrasi, ketika mereka hanya peduli pada kemenangan dengan cara apa pun, demokrasi menjadi rapuh. Fenomena kotak kosong adalah bukti bahwa aturan main itu telah dilanggar. Bahwa demokrasi telah dikorbankan demi pragmatisme politik.

Harapan yang Kosong? Apakah ada jalan keluar?

Dalam jangka pendek, mungkin sulit untuk mengubah situasi ini. Tapi ada beberapa langkah yang bisa diambil. Pertama, syarat minimal dukungan untuk calon independen harus diturunkan, agar lebih banyak warga yang bisa maju tanpa bergantung pada partai politik. Kedua, partai politik harus kembali ke fungsi utamanya: mendidik kader, bukan hanya mencari suara. Pendidikan politik harus menjadi prioritas, bukan sekadar slogan.

Namun langkah-langkah ini membutuhkan waktu. Dan sementara itu, warga harus memilih. Antara satu nama yang disodorkan oleh koalisi gemuk, atau kotak kosong yang tidak menawarkan apa-apa. Sebuah pilihan yang tidak ideal dalam sistem yang semakin kehilangan integritasnya.

Kotak kosong adalah cermin. Ia memantulkan wajah demokrasi kita yang penuh luka. Tapi cermin itu juga bisa menjadi awal dari perubahan, jika kita berani melihatnya dengan jujur. Pertanyaannya adalah: apakah kita punya keberanian itu, atau kita akan terus hidup dalam kekosongan?

Dudung Jumantarisawan

Pemimpin Redaksi Dialog Massa

Leave a Comment
×

 

Hallo Saya Admin Dialogmasa !

Jika Ada Saran, Kritikan maupun Keluhan yuk jangan Sungkan Untuk Chat Kami Lewat Pesan Pengaduan Dibawah ini Ya 

×