Pola Alam Semesta: Ketika Gus dan Penjual Es Teh Menyampaikan Pesan Ilahi

Diary Warda
5 Min Read

Pola Alam Semesta: Ketika Gus dan Penjual Es Teh Menyampaikan Pesan Ilahi

Diary Warda
5 Min Read

Oleh: Wardatul Jannah/ Diary Warda

Kali ini saya ingin mengkaji tentang Fenomena seorang dengan panggilan “gus” dan penjual es teh yang kemarin viral.

Sebagai manusia biasa, saat melihat video itu (apalagi melihat raut wajah si bapak penjual es teh yang terlihat menahan malu dan kecewa) tentu, hati terasa ikut tersayat.

Namun, yang menjadi pertanyaan. Akan ada apa ini? Apa yang akan disampaikan oleh semesta?

Jadi kali ini saya akan memposisikan diri sebagai pengamat pola kehidupan dari kacamata spritual, di mana tidak ada judgement antara si gus dan penjual es teh.

Saya melihat ada sebuah kasih sayang Tuhan untuk keduanya di sana. Keselarasan alam sedang bekerja terang-terangan. Ditampakkan secara terbuka dan nasional, bahkan internasional.

Dari sisi si gus, sebenarnya alarm alam sudah pernah berbunyi saat sebelumnya ia sempat viral menggoyang-goyangkan kepala sang istri dengan cukup keras di depan umum. Si gus ini sepertinya denial dan menganggap hal demikian sebagai kewajaran, hal itu terlihat di video klarifikasi yang beralasan bahwa itu hal wajar yang dilakukan suami kepada istri karena begitu gemasnya.

Namun bagaimanapun pembelaannya, dari kaca mata saya sebagai wanita, hal itu tetap tidak etis, bahkan meski dilakukan di tempat privacy sekalipun. Kepala adalah simbol kehormatan, tidak semestinya digoyang-goyangkan dengan keras. Apalagi di situ ada marwah seorang istri yang harus dijaga. Tidak sebaliknya.

Dan kini, kejadian dengan pola yang sama terulang kembali. Sebab perkataannya, ia viral lagi dan tentu dikecam oleh banyak orang. Andai dari awal ia menyadari bahwa alam semesta sedang berusaha menyelaraskan dirinya untuk berada di garis yang bagaimana seharusnya. Tentu semesta tidak akan bertindak sejauh ini. Di mana kecaman yang mungkin sebelumnya tidak ia duga, akan mengantarkannya ke titik rendah.

Namun, ini bukan tentang andai. Karena yang kita bahas adalah pola alam semesta terhadap respon sebab akibat. Mengapa si penjual harus mengalami peristiwa “dipermalukan” di depan umum, dan mengapa si gus harus menerima kecaman dari berbagai pihak.

Di sini alam memang membutuhkan si gus yang datang sebagai darkness sementara bapak penjual es teh butuh si gus untuk menampakkan brightness nya, agar apa?

Bapak ini mungkin sudah waktunya menerima keberlimpahan atas hal-hal baik, keikhlasan dan karma-karma baik yang telah ia tanam selama ini.

Nah untuk itu, perlu ada peristiwa besar yang harus dialami, agar ia memperoleh jalan untuk mendapatkan karma baiknya.

Meski pada dasarnya, dari sini keduanya saling mendapatkan kasih sayang Tuhan. Di mana si gus disadarkan melalui ucapannya yang demikian, yang dampaknya bisa merusak reputasi dan lain sebagainya.

Saya yakin, sebenarnya si gus ini, tidak berniat menyakiti dan kata-kata yang keluar dari mulutnya, meluncur begitu saja hingga menjadi bahan tertawaan, karena memang menjadikan orang lain sebagai candaan.

Nah, sementara si penjual es teh memang butuh sesuatu yang besar untuk memperlihatkan cahayanya dan menerima keberlimpahan.

Bertemulah si gus dan si penjual es teh melalui peristiwa itu, ada yang namanya konektivitas di antara keduanya, di mana yang satu memang disiapkan untuk menerima karma yang baik, dan satunya untuk menerima karma buruk. Alam memerlukan keduanya untuk melaksanakan tugasnya menyelaraskan energi.

Mungkin atas kejadian itu, si gus diminta untuk menyadari kesalahannya, misal atas kesombongan atau keangkuhan yang selama ini tidak disadarinya. Juga untuk lebih menjaga perilaku dan kata-katanya. Sementara, bapak penjual es teh, melalui peristiwa ia dipermalukan di depan umum dan keikhlasannya yang sudah ia lalui selama ini, cahayanya menjadi terpancar, dan tidak disangka mengundang banyak keberlimpahan yang diterima melalui orang-orang yang menyaksikan dirinya.

Jadi melalui kacamata spiritual, baik gus dan bapak penjual es teh sama-sama menyampaikan pesan kepada kita sebagai manusia, makhluk alam semesta.

Lalu bagaimana dengan orang yang awalnya berempati, kemudian menjadi simpati dengan ikut-ikutan “mencemooh atau mengata-ngatai” si gus?

Jika kita kembali melihat dari kacamata spiritual, Tentu saja, karma masing-masing ditanggung sendiri. Dan alam semesta akan tetap pada porsinya, menyelaraskan.

Leave a Comment
×

 

Hallo Saya Admin Dialogmasa !

Jika Ada Saran, Kritikan maupun Keluhan yuk jangan Sungkan Untuk Chat Kami Lewat Pesan Pengaduan Dibawah ini Ya 

×